Strategi mengelola ekspektasi inflasi
Oleh : Muhammad Chatib Basri (Direktur LPEM, Fakultas Ekonomi-UI)
Dari perspektif ekonomi makro, kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) rata-rata 28,7%, merupakan langkah tepat untuk mengatasi masalah inflation overhang. Pertanyaannya, bagaimana inflasi ke depan dan respons Bank Indonesia untuk mengatasinya?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya apabila kita melihat pola inflasi sebelum kenaikan harga BBM. Angka inflasi sampai dengan April 2008 tercatat 8,96% (year-on-year), di mana inflasi inti sebesar 8,22%, harga bergejolak (volatile food) 14,95%, dan harga yang diatur pemerintah (administered price) sebesar 5,58%.
Jika kita melihat pola bulanan, inflasi pada April 2008 sebesar 0,57%-trennya menurun dibandingkan dengan inflasi pada Maret, sebesar 0,95%. Dengan kondisi itu, kita sebenarnya melihat inflasi sebelum kenaikan harga BBM sudah relatif tinggi.
Inflasi ini dipicu oleh dua hal. Pertama, inflasi inti, karena meningkatnya ekspektasi inflasi akibat inflation overhang. Kedua, harga bergejolak akibat kenaikan harga pangan dunia yang ditransmisikan ke dalam inflasi domestik.
Kecenderungan naiknya inflasi sebenarnya bukan hanya unik bagi Indonesia. Inflasi di Vietnam sudah mencapai 21,4% selama April 2008, sedangkan di Thailand 6,2%, Filipina 8,2%, Singapura 6,7% (tertinggi dalam 25 tahun terakhir ini), dan China 8,5% (tertinggi dalam 11 tahun terakhir ini). Kebijakan moneter ketat pun mulai diterapkan di banyak negara.
Di Indonesia, kenaikan harga BBM pada 24 Mei 2008 jelas berakibat pada kenaikan inflasi. Inflasi pada Mei tercatat 1,41%, sehingga inflasi (year-on-year) mencapai 10,38%.
Seperti diduga, sumber inflasi yang utama berasal dari administered price. Dari total inflasi sebesar 1,41%, sekitar 0,62% (atau 43% dari keseluruhan inflasi) disebabkan oleh administered price.
Berdasarkan data BPS, inflasi harga yang diatur pemerintah pada Mei sebesar 2,84%. Karena kenaikan harga BBM baru dilakukan bulan lalu, dampak inflasinya akan terasa cukup signifikan pada Juni, khususnya inflasi harga yang diatur pemerintah.
Inflasi pada Mei yang relatif tinggi, mungkin juga disebabkan oleh adanya kesenjangan waktu antara sinyal pemerintah menaikkan harga BBM dan realisasi kebijakan yang sesungguhnya.
Kesenjangan waktu ini membuat pelaku ekonomi menaikkan harga sebelum harga BBM dinaikkan, dan menaikkan lagi harga ketika pemerintah akhirnya memutuskan kenaikan harga BBM. Oleh karena itu, dampaknya dua kali.
Itu sebabnya, bukan tidak mungkin inflasi pada Mei juga akan mengalami tekanan tidak hanya dari sisi administered price, tetapi juga dari ekspektasi inflasi. Secara empiris, dampak dari administered price akibat kenaikan harga BBM akan terlihat selama 2-3 bulan.
Hal ini terjadi ketika harga BBM dinaikkan, baik dalam periode pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri maupun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Artinya, setelah 2-3 bulan dampak administered price menghilang dan inflasi kembali kepada inflasi inti (core inflation). Dengan kata lain, dampak tekanan inflasi baru mulai melemah pada Juli 2008.
Kekhawatiran yang selalu muncul adalah risiko dari inflasi yang bersifat spiral atau terus-menerus meningkat setelah kenaikan harga BBM. Secara empiris, pola tersebut tidak pernah terjadi di negeri ini, karena Bank Indonesia memberikan respons yang tepat dalam mengantisipasi kemungkinan inflasi yang bersifat spiral.
Bagaimana inflasi ke depan? Haruskah BI menaikkan tingkat bunga?
Untuk membahas hal ini, kita sebenarnya bisa belajar dari supply shock akibat kenaikan harga minyak dunia pada tahun 1970-an. Oil shock yang terjadi menimbulkan stagflasi-kenaikan inflasi yang diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif-di Amerika Serikat pada tahun 1970-an.
Bukti empiris menunjukkan bahwa kenaikan inflasi ketika itu juga disebabkan oleh meningkatnya ekspektasi inflasi akibat keputusan the Fed mengatasi supply shock dengan meningkatkan pertumbuhan uang beredar. Argumentasi dari the Fed ketika itu adalah ekspansi moneter dibutuhkan untuk mendorong perekonomian agar keluar dari stagflasi.
Ironisnya, yang terjadi adalah, baik inflasi maupun pengangguran meningkat. Inflasi di AS mencapai 9%-10% dengan pengangguran 7%.
Chairman the Fed yang baru, Paul Volcker, kemudian memutuskan untuk memberlakukan kebijakan moneter ketat (disinflation). Akibatnya, memang terlihat inflasi turun dari 10% pada 1981 dan 1982 menjadi 4% pada 1983 dan 1984. Namun, harga yang harus dibayar adalah pengangguran meningkat menjadi 10% pada 1982 dan 1983.
Dalam literatur ekonomi, hal ini dikenal dengan istilah sacrifice ratio, yaitu berapa pengorbanan yang harus diberikan-dengan meningkatnya pengangguran-akibat upaya penurunan inflasi.
Menarik untuk mengikuti argumentasi guru besar ekonomi dari Harvard University, Gregory Mankiw (2004). Dia menunjukkan bahwa walaupun Volcker mengumumkan rencana the Fed memberlakukan kebijakan moneter ketat, banyak pelaku ekonomi yang tidak sepenuhnya percaya. Akibatnya, ekspektasi inflasi terus berlanjut.
Kebijakan moneter ketat
Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan moneter yang benar-benar ketat untuk mengendalikan inflasi, sehingga sacrifice ratio-nya cukup besar, walaupun masih relatif lebih rendah daripada perkiraan banyak ekonom sebelumnya. Pengalaman ini menunjukkan bahwa ekspektasi memegang peranan yang sangat penting.
Robert Lucas Jr, pemenang nobel ekonomi dari University of Chicago (1976), pernah menulis bahwa ada perbedaan yang tajam antara mengendalikan roket dan pelaku ekonomi. Roket tidak akan mencoba mengerti atau memperkirakan apa yang dilakukan pengendalinya, sedangkan pelaku ekonomi akan berusaha mencoba mengerti dan memperkirakan langkah apa yang akan diambil pengendali kebijakan ekonomi. Itu sebabnya kredibilitas menjadi soal yang sangat penting bagi kebijakan moneter.
Berdasarkan data empiris, kenaikan harga BBM sebesar 30% pada 2005 hanya berdampak pada inflasi sekitar 2-3 bulan. Selain itu, stagflasi tidak terjadi di Indonesia saat ini.
Meski demikian, saya melihat pengelolaan ekspektasi inflasi sangat penting dilakukan. Artinya, walau nanti inflasi harga yang diatur pemerintah mereda setelah 2-3 bulan, jangan dilupakan inflasi inti tetap menjadi persoalan. Faktor yang banyak berperan dalam inflasi inti adalah ekspektasi dan nilai tukar.
Apa artinya? Saya melihat kebijakan moneter yang hati-hati tetap harus dilakukan, kendati dalam dosis yang relatif terbatas. Artinya, BI memang perlu menaikkan tingkat bunga ke depan, tetapi tidak perlu sedrastis pada 2005, yaitu dari 7,5% menjadi 12,75%.
Situasi pada 2005 memang berbeda dengan sekarang. Saat itu, selain kenaikan harga BBM, tingkat bunga BI juga tertinggal (behind the curve) dibandingkan dengan kecenderungan meningkatnya suku bunga di AS.
Saat ini, kita tidak berada dalam kondisi behind the curve, tetapi ekspektasi tetap harus dijaga. Oleh sebab itu, kenaikan bunga secara perlahan dan dalam dosis terbatas tetap dibutuhkan untuk memberikan signal bahwa BI akan memerangi inflasi.
Dengan kenaikan yang relatif terbatas, dampak terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi juga akan sangat terbatas dan ekspektasi bisa dikendalikan. Pengendalian ekspektasi inflasi memang tidak mudah.
Ia membutuhkan bank sentral yang kredibel. Kredibilitas tersebut hanya bisa dibangun dengan terus menunjukkan komitmen terhadap upaya pengendalian inflasi secara konsisten.
Seperti yang dikatakan Lucas, pelaku ekonomi memang bukan roket, karena dia akan memperkirakan apa yang dilakukan pengendalinya. Saya kira, tugas besar dalam kebijakan makro saat ini adalah mengelola ekspektasi inflasi.
No comments:
Post a Comment