ANAKKU SAYANG… ANAKKU MALANG …
I believe the children are our future Teach them well and let them lead the way Show them all the beauty they possess inside Give them a sense of pride to make it easier Let the children’s laughter remind us how we used to be Aku yakin bahwa anak-anak adalah masa depan kita Didiklah mereka dengan baik dan biarkan mereka memimpin jalannya Perlihatkan kepada mereka semua keindahan yang ada dalam diri mereka Berikan rasa bangga untuk membuatnya lebih mudah Biarkan tawa anak-anak mengingatkan bagaimana kita dahulu (George Benson)
Di usianya yang sudah lanjut, Nabi Ibrahim berkeluh kesah karena belum juga dikaruniai anak. Yang sangat ia khawatirkan adalah tidak adanya generasi penerus yang akan melanjutkan risalah agama yang diembannya Dengan ikhtiar dan doa yang khusyu serta ikhlas, akhirnya Nabi Ibrahim pun dikaruniai oleh Allah putera sebagai penerus perjuangan dakwahnya Nun jauh berabad-abad setelah kisah Ibrahim itu, jutaan anak di muka bumi ini tak tersentuh tangan kasih sayang, tak terbimbing arah dan tujuan…
Anak adalah anugerah sekaligus amanah yang diberikan Allah kepada setiap orang tua. Berbagai cara dan upaya dilakukan orang tua agar dapat melihat anak-anaknya tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Namun, tak sedikit orang tua yang tak peduli akan nasib anak-anak mereka.
Terkadang perjalanan orang tua mendidik dan mendampingi anak-anak mereka tak semudah yang dibayangkan. Seringkali keinginan orang tua berseberangan dengan keinginan anak, seringkali perbedaan usia yang terbentang menghambat komunikasi yang seharusnya terjalin. Kata kunci yang biasanya dipakai orang tua sebagai pembenaran tindakannya terhadap anak adalah: “Aku telah cukup merasakan asam garam kehidupan.” Secara garis besar anak-anak yang hidup dalam ‘takdir’ tak menguntungkan dapat digolongkan dalam beberapa kelompok.
Pertama, anak-anak yang tinggal di pedesaan. Nasib dan masa depan mereka terampas karena mereka tidak memiliki akses yang cukup terhadap kemajuan kota akibat keterbatasan sumber daya dan infrastruktur yang bisa membantu mereka mengembangkan seluruh potensi mereka. Karena rata-rata tingkat ekonomi masyarakat desa rendah, akhirnya mereka dipaksa harus lebih banyak bekerja dibandingkan tugas utamanya, yaitu belajar dan bermain.
Kedua, anak-anak yang hidup di jalanan dan tinggal di daerah kumuh perkotaan. Kehidupan kota yang keras telah membawa dampak negative terhadap anak-anak. Sebagian besar dari mereka harus mencari nafkah di jalan sebagai pemulung, pengamen atau pengemis. Sebagian dari mereka terjerumus seks pra nikah atau pelacuran anak. Sebagian lagi kecanduan obat-obatan terlarang dan akrab dengan dunia kriminal.
Ketiga, anak-anak perempuan. Hingga memasuki abad 21 sikap diskriminatif terhadap anak perempuan masih ada dan masih mengakar dalam kehidupan banyak masyarakat dunia. Salah satu indikatornya adalah tingkat buta huruf pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
Keempat, anak-anak yang bekerja di pabrik-pabrik dan anak-anak korban kekerasan. Begitulah gambaran buruk nasib anak-anak yang sering kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Para orang tua, karena keegoisannya seringkali tidak menyadari akan tindakannya yang justru berpotensi merugikan mereka sendiri pada masa mendatang. Semua yang diupayakan akan menjadi sia-sia jika anak-anak kita perlakukan secara kasar tanpa arahan yang jelas. Sebelum semuanya terlambat ada baiknya kita menyadari bahwa ada hak-hak anak yang wajib kita berikan dan harus kita lindungi.
Faktor Penyebab Terjadinya 1001 masalah anak lebih disebabkan oleh lunturnya nilai filosofis masyarakat terhadap eksistensi anak. Mayoritas pemuda-pemudi yang memasuki gerbang pernikahan belum memiliki kesadaran kolektif tentang arti dan makna kehadiran anak, serta bagaimana mendidik dan mengarahkannya. Walhasil, kehadiran anak hanyalah merupakan suatu akibat dari hubungan biologis kedua orang tuanya, bukan lahir dari sebuah tujuan luhur, yaitu mencetak kader penerus perjuangan agama seperti yang diungkapkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Zakaria a.s. Kedua nabi Allah tersebut betul-betul memahami makna filosofis dari kehidupan anak dalam kehidupan ini. Pemahaman seperti inilah yang kini lenyap dalam benak dan pikiran kaum muda sekarang.
Kata Imam Ghazali, anak merupakan amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang masih suci merupakan mutiara yang masih polos tanpa ukiran dan gambar. Ia siap untuk diukir dan cenderung kepada apa saja yang mempengaruhinya. Jika ia dibiasakan dan diajarkan untuk berbuat kebajikan, ia akan tumbuh menjadi anak yang baik. Sedang apabila ia dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan begitu saja seperti membiarkan binatang ternak, ia akan sengsara dan binasa.
Rasulullah saw. menjelaskan ada dua hal yang potensial mewarnai dan membentuk kepribadian anak. Pertama, orang tua yang melahirkannya. Kedua, lingkungan atau orang tua asuh yang membesarkannya. Merekalah yang akan mendominasi proses pewarnaan dan pembentukan anak di masa depan.
Fungsi Anak Berkaitan dengan fungsi anak, Al Quran menyebutkan beberapa istilah.
Pertama,zinatun, artinya kesenangan atau perhiasan. Manusia diberikan syahwat oleh Allah berupa kesenangan kepada perempuan, harta dan anak. Keberadaan anak dalam kehidupan keluarga dapat memberikan kesenangan kepada kedua orang tuanya. Hal ini sesuai dengan fungsi keberadaan anak sebagai perhiasan kehidupan dunia.
Kedua,fitnatun, artinya cobaan. Keberadaan anak dalam kehidupan merupakan ujian yang sangat berat bagi kita, kita benar-benar diuji, apakah kita mampu bersyukur atau malah bersikap kufur terhadap ujian tersebut. Cobaan tersebut ada dua jenis, cobaan dalam bentukkhairun(kebaikan) seperti orang tua yang diberi anak yang cerdas, sehat, dan shaleh. Ada lagi cobaan yang disebutsyarrun(keburukan), misalnya diberi anak yang cacat, bodoh, atau nakal. Kedua jenis ujian tersebut akan senantiasa dihadapkan dan diberikan kepada seluruh manusia. Tentang ujian mana dan akan diberikan kepada siapa ujian tersebut, hanya Allah yang Maha Mengetahuinya.
Ketiga,‘Aduwwun, artinya musuh. Pada suatu saat dan pada kondisi tertentu, anak bisa berubah fungsi menjadi musuh. Istilah ini dikenalkan pertama kali oleh nabi Ibrahim a.s. Beliau menyebut anak dan istri sebagai ‘aduwwun. Makna musuh di sini tentu saja tidak sama dengan musuh secara umum. Musuh di sini lebih diartikan sebagai pihak yang potensial membahayakan keselamatan kedua orang tuanya.
Keempat,amanahdari Allah swt. Seluruh manusia yang sudah dikaruniai anak berkewajiban mengembalikan anak tersebut dalam keadaan bersih dari noda dan kemaksiatan, sesuai dengan kefitrahan yang ia bawa sejak lahir ke alam dunia. Kelak amanah tersebut harus dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah pengadilan Yang Maha Kuasa.
Anak dan Segudang Kewenangan David Pelzer (Dave) adalah satu dari sekian banyak anak di Daily City , California yang menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan kepedihan. Kehangatan keluarga sama sekali tak pernah ia rasakan. Sejak kecil hingga usia 9 tahun, Dave mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh ibunya. Ibunya kerap memarahi dan menghukumnya tanpa alasan yang jelas. Pertengkaran kedua orang tuanya membuat Dave semakin ketakutan karena sang ibu selalu menjadikan Dave sebagai pelampiasan kemarahannya.
Keadaan tersebut membuat ia tertekan hingga akhirnya polisi mengetahui keadaan tersebut. Dibantu seorang petugas social, Dave menjalani persidangan untuk mendapatkan hak-haknya. Pengadilan memberikan opsi kepada Dave untuk tetap tinggal dengan keluarganya atau ia akan hidup sebagai tanggung jawab Negara dengan risiko hidup dengan orang tua asuh yang ditunjuk sampai usianya 18 tahun. Sebagai seorang anak yang tidak mengerti harus berpihak ke mana, Dave kebingungan. Di satu sisi Dave tidak tahan lagi hidup dan ketakutan dan penyiksaan ibunya. Di sisi lain, ia tidak yakin dapat menjalani hidup di bawah pengawasan Negara bersama orang tua asuhnya. Namun, di atas dilemma tersebut, Dave menginginkan sebuah kehidupan baru untuk menyembuhkan luka hati dan perasaannya. Akhirnya ia memilih hidup sebagai seorang anak asuh di bawah perlindungan Negara.
Berakhirkah penderitaannya? Ternyata kebebasannya dari kekejaman sang ibu belum melahirkan ketentraman dalam jiwanya. Jauh di lubuk hatinya, dia tetap merindukan kehangatan sebuah keluarga. Limpahan kasih sayang dari orang tua angkatnya tidak dapat memenuhi kehampaan jiwanya akan kasih sayang orang tua yang sesungguhnya. Dave harus berpindah dari satu keluarga asuh ke keluarga asuh lainnya. Berbagai permasalahan yang timbul harus ia hadapi tanpa tahu sampai kapan hal ini berakhir. Tanpa sadar, perjalanan hidupnya dalam keluarga asuh membuahkan kematangan jiwa yang belum tentu ia dapatkan bila ia tetap berada dalam keluarga kandungnya. Kemudian ia pun bersyukur karena tanpa sadar cinta kasih keluarga yang ia inginkan terdapat dalam beberapa keluarga asuh yang pernah menjadi bagian dari hidupnya.
Berdasarkan kisah nyata yang ia alami tersebut, ia membuat sebuah bukutrilogi ~A Child Call It, The Lost Boy, dan A Man Named Dave~yang ia persembahkan untuk menjawab cibiran masyarakat tentang keluarga asuh. Ia pun kerap kali diundang sebagai pembicara yang efektif dan dihormati. Demikianlah anak yang dibesarkan dalam keluarga yang ‘berantakan’, dalam arti tidak memberikan hak-hak anak dengan semestinya, relative lebih rawan memperoleh perlakuan yang salah. Pada kasus-kasus semacam ini, ibu seringkali menjadi sosok ganda yang membingungkan. Di satu sisi, kasih sayang dan perlindungannya dibutuhkan, di sisi lain perbuatannya menimbulkan kebencian di hati anak-anaknya.
Study yang dilakukan Unicef pada anak-anak yang dikategorikanchildren of the street, menunjukan bahwa motivasi mereka hidup di jalanan bukan sekadar karena desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga, melainkan juga karena terjadinya kekerasan dan keretakan kehidupan rumah tangga orang tuanya. Bagi mereka, kendati kehidupan di jalanan sebenarnya tak kalah keras, tapi lebih memberikan alternative dibandingkan dengan hidup dalam keluarganya yang penuh dengan kekerasan yang tidak dapat mereka hindari. Di jalanan, anak-anak itu dapat lari dari ancaman tindak kekerasan, tetapi dalam keluarganya justru mereka harus menerima nasib begitu saja saat dipukuli oleh orang tuanya. Memang, anak-anak acapkali merupakan “objek empuk” dalam keluarga untuk menerima perlakuan sewenang-wenang.
Meski tidak selalu terjadi, seringkali ditemui bahwa latar belakang anak-anak memilih hidup di jalanan adalah karena kasus-kasuschild abuse(Perlakuan kejam terhadap anak-anak). Anak-anak yang hidup dengan orang tua yang terbiasa menggunakan bahasa kekerasan akan cenderung memilih keluar dari rumah dan hidup di jalanan.
Bersahabatlah dan Penuhi Hak Mereka Betapa seorang anak membutuhkan perhatian yang tulus. Idealnya semua itu mereka dapatkan dari keluarga kandung. Namun karena semua itu tidak terdapat dalam keluarga, anak akan mencarinya hingga mereka dapatkan. Karenanya, orang tua harus mampu menjadi sahabat bagi anak-anaknya. Janganlah sekali-kali cukup dengan hanya menjadi orang tua bagi mereka. Jadilah sahabat mereka dan leburkan dinding-dinding keangkuhan wibawa orang tua agar dapat menjangkau relung terdalam perasaan seorang anak. Dengan demikian anak akan lebih terbuka, tidak segan mengungkapkan masalah mereka, dan mempercayai orang tua sebagai seorang sahabat yang bisa diandalkan.
Untuk dapat menjadi sahabat bagi anak, kita mesti mengerti betul peran yang kita mainkan. Saatnya kini kita renungkan kembali peran dan tindakan kita sebagai orang tua yang diamanahi oleh Allah untuk mengurus, mendidik, membesarkan, dan mengarahknan anak-anak kita. Sejauhmana upaya dan kerja keras kita dalam memenuhi hak-hak anak-anak kita.
Kita mestinya khawatir kalau-kalau selama ini kita termasuk kelompok yang mengabaikan hak-hak anak. Kalaulah orang lain tidak ada yang tahu tentang sikap dan tindakan kita terhadap anak-anak kita, bukankah Allah swt. senantiasa mendeteksi segala tindakan dan perbuatan kita? Tak ada salahnya jika kita renungkan ungkapan anak-anak kita, “Kami adalah masa depan, dan kami sekarat, masa depan itu menjadi tidak ada.”
MEMBINA ANAK, MENCIPTA GENERASI UNGGUL “Untuk mengubah bangsa ini, potong satu generasi.” Ungkapan itu sering dilontarkan oleh mereka yang kecewa pada kondisi bangsa. Mungkin maksud memotong generasi adalah mengganti kepemimpinan dan dominasi pengambil keputusan oleh generasi yang lebih baik. Namun melahirkan generasi yang kelak akan memimpin arah bangsa ini tidaklah mudah seperti membalikan telapak tangan. Unggul atau tidaknya generasi akan ditentukan oleh masa perkembangan dan system lingkungannya.
Selain itu, yang peling utama adalah factor keimanan. Factor ini menentukan unggul tidaknya suatu generasi. Generasi yang unggul biasanya memiliki alur waktu yang panjang dan dibangun di atas pondasi generasi sebelumnya. Generasi sebelumnya inilah yang biasanya mewariskan perilaku-perilaku umum pada generasi berikutnya.
Sifat dan sikap anak ditentukan oleh orang tuanya. Kesalahan orang tua yang fatal adalah ketidakpedulian mereka terhadap pendidikan anak. Ketidakpedulian ini lahir karena anak bukanlah sebagai tujuan, tapi lebih sebagai akibat. Jadi tidak ada niat dalam diri mereka untuk mendapatkan keturunan dan mendidik mereka menjadi penerus risalah agama Allah, menjadi para mujahid yang lebih baik dari orang tuanya. Selain itu, niat yang salah tatkala mendidik anak atau pendidikan yang keliru saat mereka dibesarkan merupakan sebab yang memberikan andil cukup besar bagi bobroknya suatu generasi.
Pendidikan Islam Pendidikan Islam tidak hanya pada unsur hafalan, namun lebih pada dimensi pengembangan jiwa dengan mengetahui untuk apa ia lahir dan untuk apa ia bertahan hidup. John W Santrock, pakar psikologi perkembangan yang terkenal dengan bukunya yang berjudulAdolescence(2001), menunjukan bahwa kebingungan identitas adalah mitos. Ada remaja-remaja yang tidak perlu sibuk mencari jati diri. Mereka telah mengenali dirinya, tujuan hidupnya, dan makna hidupnya karena sejak kecil telah memiliki keyakinan, komitmen, hidup serta persepsi tentang tanggung jawab yang kuat. Inilah yang membuat hidup mereka lebih terarah, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh teman-teman sebayanya.
Sepanjang sejarah, agama ini telah melahirkan manusia-manusia besar di usia amat belia. Imam Syafi’I telah didengar kata-katanya sebagai fatwa yang otoritatif ketika usianya baru menginjak 16 tahun. Imam Ahmad bin Hanbal telah sibuk mempelajari ilmu hadist tatkala umurnya baru menginjak 15 tahun. Dan Usamah bin Zaid ~seorang sahabat Nabi saw,~ telah mendapat kepercayaan sebagai panglima perang, juga ketika usianya baru menginjak 16 tahun.
Ada contoh yang patut kita renungkan. Ketika Ibnu Abass masih kanak-kanak, Rasulullah saw, mengajarkan beberapa kalimat yang membekas dalam jiwa. Kata Rasulullah,“Jagalah (hak) Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Peliharalah (hak) Allah, niscaya kamu akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Ingatlah Dia di saat kau bahagia, niscaya Dia akan mengingatmu saat kau susah.” Pendidikan Islam yang utama dan tertinggi adalah membawa manusia mengenal penciptanya, mengabdikan diri sepenuhnya hanya kepada Allah, melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya dengan penuh ridho. Sebenarnya system pendidikan yang paling berkesan dan mampu membawa perubahan menyeluruh dalam diri manusia adalah system pendidikan yang berupaya berbicara dengan jiwa. Hanya pendidikan Islam yang mempunyai metodologi itu dan mampu merawat jiwa manusia.
Dalam mendidik manusia, Islam memberikan penjelasan mengenai harkat manusia, alam, penciptanya, serta hubungan antara ketiganya. Sedangkan pendidikan barat dan konsep selain Islam sangat gamang memetakan hakikat manusia dan penciptanya. Memberikan keteladanan yang baik, bersikap adil terhadap anak-anak, memenuhi hak-hak anak, mendoakan anak, membantu anak untuk berbuat baik dan patuh, menjauhi sikap suka mencela, adalah metode pendidikan yang diajarkan Islam, yang sepatutnya dilaksanakan oleh para orang tua.
(Sumber : Percikan Iman No. 09 Thn. IV September 2003)
|